"Bodoh emang dia tuh, sedangkan status menantu ponakan pejabat aja bisa kaya, lah dia adik ipar pejabat kok malah begitu-begitu saja hidupnya", cetus seorang pengembang.
Baru aku mengerti maksud ucapan yang sudah lama sekali ku dengar itu setelah ku melihat sendiri situasi di lapangan. Aku tinggal di salah satu kabupaten di sumatera utara. Mengenai birokrasi kepemerintahan daerah memang aku tidak begitu paham seperti apa prosedurnya. Namun pembenaranku terhadap ucapan si pengembang itu terbukti ketika ku bekerja dengan seorang yang mengenal baik pimpinan di suatu kabupate.
Aku sendiri memang masih berdomisili di kabupaten yang beliau pimpin. Dan tempat aku bekerja ini bisa dikatakan sumber pendapatan adalah dari kerjaan terkait kegiatan pemerintahan. Yang menjadi sorotan bagiku adalah, betapa beliau dipandang meskipun hanyalah seorang kerabat dekat saja (bukan bagian keluarga inti). Dan di pemerintahan itu sendiri banyak yang tau beliau.
Untuk mengurus segala sesuatu agar dipermudah pemerintah, kami biasanya tinggal sebut nama beliau. Namun meskipun namanya seolah punya andil, tidak serta merta kami bisa menyelesaikan urusan mulus tanpa UUD (ujung-ujungnya duit). Tidak.
Tetap amplop tersedia meski sekedar ukuran pejabat di sana. Jika tanpa penyebutan nama beliau, ku duga amplop yang disediakan haruslah tebal. Dan itu merata di setiap dina di sana. Bahkan sudah terprogram di benak-benak pegawai dengan status biasa. Dimana berkas itu berhenti, di situlah keberadaan si amplop. Jika tidak demikian, jangan harap urusan selesai hitungan minggu.
Mungkin hitungan tahun juga belum bisa dipastikan. Karena dari sekian banyak berkas yang masuk, tentunya berkas yang ditemani amplop lah yang akan disentuh terlebih dahulu. wow,mengapa sampai sebegitu parah sistem yang berlaku di dalam sana? Tidak ada kah lagi yang betul-betul bekerja sesuai dengan mandatnya? Malah hal yang terkadang tidak bisa ditolerir nurani adalah ketika suatu pekerjaan yang seharusnya tidak bisa diberikan ijin pembangunannya (terbentur ketetapan yang sudah terlanjur disusun), masih bisa terkompromikan jika amplopnya jelas.
Baru aku mengerti maksud ucapan yang sudah lama sekali ku dengar itu setelah ku melihat sendiri situasi di lapangan. Aku tinggal di salah satu kabupaten di sumatera utara. Mengenai birokrasi kepemerintahan daerah memang aku tidak begitu paham seperti apa prosedurnya. Namun pembenaranku terhadap ucapan si pengembang itu terbukti ketika ku bekerja dengan seorang yang mengenal baik pimpinan di suatu kabupate.
Aku sendiri memang masih berdomisili di kabupaten yang beliau pimpin. Dan tempat aku bekerja ini bisa dikatakan sumber pendapatan adalah dari kerjaan terkait kegiatan pemerintahan. Yang menjadi sorotan bagiku adalah, betapa beliau dipandang meskipun hanyalah seorang kerabat dekat saja (bukan bagian keluarga inti). Dan di pemerintahan itu sendiri banyak yang tau beliau.
Untuk mengurus segala sesuatu agar dipermudah pemerintah, kami biasanya tinggal sebut nama beliau. Namun meskipun namanya seolah punya andil, tidak serta merta kami bisa menyelesaikan urusan mulus tanpa UUD (ujung-ujungnya duit). Tidak.
Tetap amplop tersedia meski sekedar ukuran pejabat di sana. Jika tanpa penyebutan nama beliau, ku duga amplop yang disediakan haruslah tebal. Dan itu merata di setiap dina di sana. Bahkan sudah terprogram di benak-benak pegawai dengan status biasa. Dimana berkas itu berhenti, di situlah keberadaan si amplop. Jika tidak demikian, jangan harap urusan selesai hitungan minggu.
Mungkin hitungan tahun juga belum bisa dipastikan. Karena dari sekian banyak berkas yang masuk, tentunya berkas yang ditemani amplop lah yang akan disentuh terlebih dahulu. wow,mengapa sampai sebegitu parah sistem yang berlaku di dalam sana? Tidak ada kah lagi yang betul-betul bekerja sesuai dengan mandatnya? Malah hal yang terkadang tidak bisa ditolerir nurani adalah ketika suatu pekerjaan yang seharusnya tidak bisa diberikan ijin pembangunannya (terbentur ketetapan yang sudah terlanjur disusun), masih bisa terkompromikan jika amplopnya jelas.
Ini juga lah yang menyebabkan tata kota tak terstruktur lagi. Uang masihlah raja di sini. Kekuasaan tertinggi ada di lembaran-lembaran uang yang siap mengucur. Satu tema harapan ku adalah, daerah ku bisa mengenal kata bersih dalam bekerja. Sedangkan sub harapan adalah, tidak ada lagi daerah-daerah di belahan pertiwi dengan kondisi yang sama. Saya masih berpikir positif. I love Indonesia. How about u?