Perbincangan singkat dengan teman kos sang kekasih mengenai adat pernikahan di suku mereka menyampaikan ku kepada kesimpulan bahwa begitu banyak persamaan antara adat pernikahan di suku ku dan adat pernikahan di rote ndao. Apa yang menyamakan???
Hal yang paling mencolok dalam pembicaraan singkat itu, ialah adanya suatu prosesi dalam adat yang disebut dengan sinamot (dalam Batak) dan belis (dalam rote). Apa itu?
Sinamot atau pun belis adalah istilah pemberian mahar dari pihak keluarga pria kepada keluarga mempelai wanitanya. Pemberian sinamot atau belis yang biasanya dalam bentuk uang ini adalah simbol bahwa pihak perempuan menyetujui anak perempuannya dipinang oleh sang calon mempelai lelaki. Pemberian sinamot sendiri dalam suku batak (batak toba khususnya) ditandai dengan pertemuan antara kedua belah pihak keluarga yang dikenal dengan kegiatan martupol (tunangan).
Dalam sesi ini biasanya terjadi tawar menawar antara keluarga pria terhadap tawaran yang diajukan keluarga wanita (ataupun sebaliknya).
Sebagian orang yang belum mengenal adat pernikahan suku batak atau pun rote pastinya menyangka bahwa terjadi proses jual beli karena adanya sesi sinamot dan belis ini sendiri. Tapi tidak lah bermakna demikian. Pandangan saya leluhur terdahulu terpikir untuk mengadakan sesi ini dalam proses pernikahan adalah sebagai simbol bahwa martabat wanita dalam suku batak sangat lah dihargai. Tidak sembarang untuk bisa meminang wanita dari suku kami. Begitu banyak tahapan yang harus dilalui sampai dikatakan syah sebuah pernikahan dalam sisi adat maupun agama. Kalau saya pikir sih meski sering memberatkan pihak pria tapi dampak positif bisa dirasakan pasangan yang menikah ini. Rangkaian adat yang ribet ini lah nanti yang membuat pasangan untuk berfikir lagi jika mau bercerai.
Banyak orang yang dilibatkan, dan memerlukan waktu yang tak sebentar juga untuk mempersiapkannya, tentunya menjadi pertimbangan lebih bagi pasangan yang hendak bercerai. Selain itu serangkaian adat yang banyak ini meiliki tujuannya sendiri yaitu bentuk dari penghormatan dan cinta kasih dari kedua orang tua, saudara sekandung, dan keluarga dekat, dan masyarakat sekitarnya serta mempererat hubungan cinta kasih dan kepedulian kedua orang tua/keluarga, saudara, kerabat dekat dan masyarakats sekitarnya kepada anaknya yang sangat dicintai.
Setelah tahapan marhata sinamot, masuklah ke tahapan-tahapan adat lainnya hingga sampai pada ujung kegiatan yaitu pemberkatan ala agama dan dilanjutan pemberkatan ala adat. Dan tahapan ini juga dibebankan pada pihak pria pembiayaannya. Adakalanya dalam pemberian sinamot dan belis pihak keluarga lelaki sudah memberikan biaya untuk pesta adatnya sekaligus. Disinilah letak persamaan lain kedua suku ini, yaitu membutuhkan uang yang tak sedikit untuk bisa melangsungkan pernikahan yang benar dari sisi masyarakatnya.
Bagaimana jika tanpa adat?
Dalam suku batak sendiri, sekarang ini banyak yang hanya melangsungkan pemberkatan secara gerejawi saja dulu tanpa adat.Tentunya karena terhalang masalah dana untuk membiayai prosesi adat tadi. Namun hal ini menjadi hutang dimana tetap lah harus terlaksana pernikahan secara adat. Dan selama hal ini belum terjadi ada beberapa larangan dalam masyarakat yang dilarang untuk dilakukan pasangan ini kelak. Misalnya, saat pihak keluarga wanita ada juga yang akan menyelenggarakan acara adat, maka si wanita diperbolehkan hadir namun tidak didampingi suaminya. Hal ini dikarenakan status mereka dalam adat belum syah sebagai suami istri. Meskipun saat ini sudah terjadi pergeseran nilai dalam menanggapi perkawinan suku batak yang belum melaksanakan adat batak ini (tidak lah strick seperti dulu), hal ini tetap menjadi buah bibir bagi masyarakat setempat.
Hal kompleks yang mesti dilalui dua suku ini juga yang menjadi penghambat bagi setiap pasangan yang mau menikah namun belum mempunyai dana cukup sehingga saat menikah usia sudah dikatakan tidak muda lagi. Tetap ada sisi baiknya toh, paling tidak bisa menekan angka kelahiran di Indonesia. Hehehheheee...