Seorang teman meminta ku untuk menjadi pendengar baiknya malam itu. Katanya, dia sudah tidak tahan memendam tekanan dari atasannya di kantor. Dengan menggebu dan ekspresi kesal temanku ini memulai ceritanya.

Sehari setelah tamat dari universitas, teman ku ini mendapat tawaran untuk bergabung di perusahaan swasta tempat tetangganya (si pemberi tawaran) mendapatkan rupiah. Tanpa berpikir panjang temanku ini menerima, dan langsung menjatuhkan lamaran keesokkan harinya. Meski gajinya sedikit, namun temanku ini tetap niat untuk menjalani terlebih dahulu dengan dalih sebagai batu loncatan untuk karirnya ke depan. Yah, hitung-hitung cari pengalaman dulu. Dalam benak sih, temanku ini sudah menagetkan paling tidak bertahan 1 tahun di perusahaan itu, supaya dapat surat pernyataan tertulis telah mengabdi dengan baik untuk penyempurnaan CV saat pelamaran selanjutnya.

Singkat cerita temanku ini, diterima di bagian administrasi perusahaan tersebut. Dengan modal insting si temanku ini mencoba menyesuaikan irama kerja di kantornya. Memang diakuinya, dia lambat menyesuaikan dengan bidang perusahaannya itu, dikarenakan memang tidak sejalan dengan latar belakang pendidikan, dan juga tidak adanya senior yang memberikan arahan (tidak ada masa training). Meraba, ya lebih tepatnya begitu lah temanku ini menjalani dan melakukan tanggung jawabnya di perusahaan itu.

Namun, lewat dari 3 bulan, dia mulai mendapati bahwa tanggung jawabnya meluas tidak searah dengan job description seorang admin. Dia mulai mendapati, bahwa dia juga seorang relawan untuk mengerjakan tugas kampus atasannya. Hardikan pun diterima kala tugas yang diminta belum diselesaikan. “bagaimana mau selesai cepat? Saya yang bergelar S-1 harus mengerjakan tugas S-2, jurusan hokum pula. Anak sastra diminta ngerjai tugas hokum??? Coba bayangkan?”seru temanku.

jujur, saya tidak membayangkan apapun saat itu. Karena saya tahu, itu hanya luapan emosinya.

“yang bikin naik darah ini, dia tuh marahnya ke saya, karena waktu itu makalah hokum bisnis yang saya buat itu hanya dapat nilai B. bukannya terima kasih, eh ini malah maki-maki. Ada otak gak tuh orang?”, tambahnya lagi.
Saya hanya memperhatikan tanpa bicara apapun. Karena saya juga merasa, respon saya nantinya hanya akan memperburuk suasana hatinya. Untuk itu saya menjalankan tugas untuk hanya menjadi pendengar yang baik dan budiman.

Setahun berlalu, si teman ku ini masih bekerja di situ, dan sepertinya beban yang dipikulnya pun kian berat. Katanya, dia sudah beberapa kali dapat panggilan test kerja namun tidak ada yang dijalaninya, karena panggilan itu adanya dari luar kota. Harus menyebrang pulau untuk hanya sekedar test saja. Pertimbangan biaya dan waktu untuk mendapatkan ijin dari kerjaan pun menjadi penghambat katanya. Beberapa kali menjatuhkan lamaran di kota ini, namun belum ada yang memanggil sampai si temanku ini menjalani tahun ketiganya di perusahaan itu.

Cerita duka pun berlanjut. Setelah jadi relawan pengerjaan tugas atasannya, dia pun menuturkan bahwa dia juga menjadi asisten pribadi tak tertulis bagi atasannya. katanya, urusan pindahan rumah pun, dia harus dilibatkan. bahkan yang terbaru keluh kesah yang dialaminya adalah dia diminta untuk mengurus polis asuransi mobil yang baru dibelinya. omelan pun harus diterima temanku ini, saat dia jujur mengakui kepada atasannya dia belum pernah mengurusi hal itu, dan dia ragu dia bisa membantu si atasan.

"apa yang salah dari itu?tanyanya padaku"

Harusnya tidak ada yang salah"jawabku sekenanya.

Dia pun lalu memelukku dengan eratnya dan berkata, "aku harus keluar dari pekerjaan itu, aku tidak ingin mati berdiri di sana, tolong bantu aku teman,,,"

Aku pun hanya terdiam, dan mencoba memberi sedikit ketenangan bagiku dengan menepuk-nepuk bahuku pelan.

TEMANKU itu ADALAH AKU.

Related Post :