Rasa-rasanya keberhasilan sangat jauh dari kehidupanku. Di umur ke 25, mendapati diri masih belum ada perkembangan membuatku nyaris putus asa. Bekerja masih di posisi yang sama, ketika ku diterima di perusahaan tempat ku mendapatkan rupiah saat ini. Padahal sudah tiga tahun berselang.
"Makanya, coba melamar donk di tempat lain?"
Eits, jangan pikir aku tidak menjatuhkan lamaran kemana-mana ya. Konyol sekali aku jika menginginkan suatu perubahan tapi tidak melakukan apa-apa. Di awal enam bulan berlalu setealah menjadi karyawan di sini, hampir setiap pagi (jika ada waktu luang) aku membuka loker-loker yang bertebaran di dunia cyber. Dan saat melihat ada info yang sesuai dengan kapasitasku, saat itu lah ku jatuhkan lamarannya (via email). Namun, seperti melihat ke kaca yang penuh dengan bulir-bulir hujan, seperti itu lah nasib lamaran demi lamaran yang ku kirimkan-kabur. Tak ada balasan sama sekali.

Salahnya dimana ya? Segala kemungkinan kegagalan pun ku coba mencari tahu dari pendahulu-pendahulu yang berbaik hati membagi pengalamannya seputar lamaran kerja. Aku pun mulai memperbaiki kemungkinan kesalahan itu, dan menerapkan perbaikan yang telah ku baca dari beragam masukan lewat beragam sumber. 

Singkat cerita, dari sekian banyak lamaran yang sudah ku kirimkan sampai menginjak tahun ke-3 ini, bisa dihitung dengan jari lah lamaran yang sukses dilirik perusahaan untuk dipanggil interview. Hasilnya? Gagal semua. Kebanyakan aku gagal di tes yang terakhir.

Lemas, harapan menipis dan mulai mencari-cari kesalahan (dari diri sendiri maupun dari tim penguji). Bahkan ekstremnya, ku pernah mempertanyakan kegagalan ku ini kepada sang Pencipta. "Tuhan, aku kan tidak jahat-jahat kali jadi umatMU, aku juga selalu meminta padaMu setiap kali menjatuhkan lamaran,tapi kenapa yang ku dapat hanya kegagalan?" "Sebegitu berdosanya kah aku di hadapanMU, sampai tak Kau pandang aku sedikit pun?".

Sadar-sesadar sadarnya, bahwa Tuhan itu tidak pernah tidur, Dia tidak mungkin kejam terhadapku. Namun, ditengah kesedihan dan nyaris putus asa, kedaginganku membuatku semakin buruk saja. Aku tahu aku salah dengan mempertanyakan seperti itu kepada Tuhan, namun aku seakan tak berdaya, menahan kemarahan dan kekesalah karena kesedihan dibalik beragam kegagalan ku ini.

Bukan hanya di karir ku merasa tidak beruntung, dalam cinta pun ku buntung. Enam tahun berhubungan, kandas juga. Berakhirnya hubungan, memberikan penyesalan tersendiri. Ku telah membuang-buang waktu selama enam tahun, dengan orang yang ternyata bukan jodoh yang dipersiapkan untuk ku.

Merenung dan terus merenung, berbalik ke masa lalu, untuk melihat sikap ku di setiap kegagalan yang ku alami. ku dapati, kesalahn memang ada padaku. Sampai saat ku mendengarkan khotbah di kebaktian pagi, aku pun semakin disadarkan. Ilustrasi yang diceritakan pak pendeta tak khayal adalah cerminan diriku juga. 
"Ada seorang bapak batak kaya, yang sudah divonis memiliki penyakit yang serius. Dokter yang memeriksa beliau, kebetulan adalah tetangga di komplek perumahaannya. Dokter itu menyatakan, bapak terkena hipertensi yang mengkhawatirkan. Untuk itu bapak, harus menjauhi makanan yang bisa memicu penyakit bapak. Hindari makanan berlemak, terutama saksang, lomok-lomok dan daging lainnya. Bapak hanya dianjurkan untuk mengkonsumsi semua yang hidup di air. Si bapak batak pun kecewa, karena ternyata olahan dari daging terutama B2 adalah santapannya setiap hari, dia merasa belum makan kalau tidak memakan daging itu. Namun demi kesehatannya, si bapak pun berupaya menjalankan nasehat si dokter. Beberapa hari berselang, sang dokter yang kebetulan sedang joging di sekitar komplek, menyempatkan untuk melihat si bapak batak, untuk mengecek kondisinya. saat mengetuk pintu rumah si bapak, pembantu yang membukakan pintu, lalu si dokter pun bertanya "bapak mana?". Si pembantu menjawab, bapak lagi berenang pak. "oh, berarti bapak menjalankan saran saya, baguslah, kata si dokter. "tapi dok, tuan saya berenangnya aneh", balas si pembantu sambil mengajak dokter ke arah kolam berenang. Dan ternyata, astaga...., si bapak batak bukannya berenang semata untuk kesehatannya tapi juga untuk kedagingannya. Si Bapak Batak berenang bersama seekor babi"
Tawa pun menggelegar saat pendeta selesai menceritakan ilustrasinya. Aku pun ikut tertawa, tapi lebih tepatnya menertawakan diri sendiri. Barulah ku sadari ternyata selama ini, aku seperti si bapak batak itu, meminta Tuhan memberikan kebaikan namun memaksa Tuhan untuk memebrikannya seturut dengan apa yang ku pikirkan. Tak heran selama ini hanyala kekecewaan yang ku dapat.

Sepulang ibadah, aku pun menyadari bahwa berdoa pun, namun kalau kesannya memaksa, doa itu salah. Aku tidak benar-benar mempersilahkan Tuhan memberkatiku dengan caraNYA, tapi aku memerintahNYa untuk bekerja seturut keinginanku. Saat yang bersamaan ku pun mengerti, aku belum berhasil hingga kini, dikarenakan memang aku yang belum siap untuk dilimpahkan keberhasilan itu, ditambah caraku meminta juga salah.

Mungkin di luar sana, banyak juga yang mengalami hal yang serupa, namun sekiranya tidak ada yang mengambil sikap separah yang pernah ku perbuat.GBU

Related Post :