PAJAK BUMI DAN BANGUNAN
I. U M U M
Dalam Negara Republik Indonesia yang ke-hidupan rakyat dan perekonomiannya sebagian besar bercorak agraris, bumi termasuk perairan dan kekaya-an alam yang terkandung didalamnya mempunyai fungsi penting dalam membangun masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Oleh karena itu bagi mereka yang memperoleh manfaat dari bumi dan kekayaan alam yang terkan- dung didalamnya, karena mendapat sesuatu hak dari kekuasaan negara, wajar menyerahkan sebagian dari kenikmatan yang diperolehnya kepada negara melalui pembayaran pajak.
Dalam rangka penyederhanaan beberapa jenis pungutan atas tanah dan bangunan, maka pungutan yang diatur dalam :
  • Ordonansi Pajak Rumah Tangga 1908;
  • Ordonansi Verponding Indonesia 1923;
  • Ordonansi Verponding 1928;
  • Ordonansi Pajak Kekayaan 1932;
  • Ordonansi Pajak Jalanan 1942;
Pasal 14 huruf j, huru k, dan huruf l Undang Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1957 tentang Peraturan Umum Pajak Daerah; Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang Nomo 11 Tahun 1959 tentang Pajak Hasil Bumi (IPEDA) dan lain-lain Peraturan perundang-undang-an sepanjang mengenai tanah dan bangunan, "Dinyatakan tidak berlaku lagi dan diganti dengan pungutan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)."

II. DASAR HUKUM PEMUNGUTAN :
  • Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan.
  • Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 1985 ten-tang Persentase Nilai Jual Kena Pajak Pada Pajak Bumi dan Bangunan.
  • Keputusan Menteri Keuangan No. 1002/KMK.04/ 1985 tentang Tata Cara pendaftaran objek pajak PBB.
  • Keputusan Menteri Keuangan No. 1003/KMK.04/ 1985 tentang Penuntun Klasifikasi dan besarnya Nilai Jual objek Pajak sebagai dasar Pengenaan PBB.
  • Keputusan Menteri Keuangan No. 1006/KMK.04/ 1985 tentang Tata Cara penagihan PBB dan pe- nunjukkan pejabat yang berwenang mengeluarkan Surat Paksa.
  • Keputusan Menteri Keuangan No. 1007/KMK.04/ 1985 tentang Pelimpahan Wewenang Penagihan Pajak Bumi dan Bangunan kepada Gubernur Kepala Daerah Tingkat I dan/atau Bupai/Walikota madya Kepala Daerah Tingkat II.
  • Keputusan Gubernur KDKI Jakarta No. 816 Ta-hun 1989 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemungut- an Pajak Bumi dan Bangunan di Wilayah DKI Jakarta.
  • Peraturan Pelaksanaan Lainnya.
III. OBJEK DAN SUBJEK PAJAK BUMI DAN BANGUNAN (PBB) :
1. Obyek PBB :
a. Yang menjadi objek PBB adalah bumi dan/atau bangunan.
  • Yang dimaksud dengan Bumi adalah permu-kaan bumi meliputi tanah dan perairan peda-laman serta laut wilayah Indonesia.
  • Yang dimaksud dengan bangunan adalah kon-struksi teknik yang ditanam atau dilekatkan se-cara tetap pada tanah dan/atau perairan.
b. Termasuk pengertian bangunan adalah :
  • Jalan lingkungan yang terletak dalam suatu kompleks bangunan seperti hotel, pabrik, dan emplasemennya dan lain-lain yang me-rupakan satu kesatuan dengan kompleks bangunan tersebut;
  • Jalan tol;
  • Kolam renang;
  • Pagar Mewah, taman mewah;
  • Tempat olah raga;
  • Galangan kapal/dermaga;
  • Tempat penampungan /kilang minyak, air dan gas, pipa minyak;
  • Fasilitas lain yang memberikan manfaat.
c. Yang dikecualikan dari pengenaan PBB adalah Bumi dan Bangunan:
  • Yang digunakan semata-mata untuk mela-yani kepentingan umum dibidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan, dan kebuda-yaan nasional yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan;
  • Yang digunakan utnuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis dengan itu;
  • Yang merupakan hutan lindung, hutan sua-ka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, ta-nah negara yang belum dibebani suatu hak;
  • Yang digunakan oleh perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan azas perlakuan timbal balik ;
  • Yang digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi Internasional yang ditentukan oleh Menteri Keuangan ;
  • Yang nilai jual bangunannya Rp. 3.500.000,- kebawah untuk setiap satuan bangunan.
d. Saat yang menentukan besarnya pajak ter-hutang yang tercantum pada SPPT, adalah keadaan objek pajak pada 1 Januari Tahun yang bersangkutan.

2. Subjek/Wajib Pajak PBB
Yang menjadi subjek/wajib pajak PBB adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi dan/atau mem-peroleh manfaat atas bumi, dan atau memiliki, menguasai dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan, antara lain :
  • Pemilik;
  • Penghuni;
  • Pengontrak;
  • Penggarap;
  • Pemakai;
  • Penyewa.
IV. TATA CARA PENDAFTARAN OBJEK PAJAK
Subjek pajak wajib mendaftarkan objek pajaknya dengan mengisi Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) sesuai dengan S.K. Menteri Keuangan Nomor 1002/KMK.04/1985 dengan cara sebagai berikut :
  • Bagi objek pajak yang belum dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan atau terdapat mutasi/perubah-an objek dan atau subyek pajak, subyek/wajib pa-jak yang bersangkutan wajib mendaftarkan obyek pajaknya dengan cara mengisi Surat Pemberitahu-an Objek Pajak (SPOP) yang disediakan kepada :
    • -- Kantor Kelurahan;
    • -- Kantor Suku Dinas Pendapatan Daerah;
    • -- Kantor Pelayanan PBB.
  • SPOP harus diisi dengan jelas, benar dan leng-kap serta ditanda t angani oleh wajib pajak dan disampaikan kembali ke Kantor Pelayanan PBB yang wilayah kerjanya meliputi objek pajak yang dimaksudkan, paling lambat 30 hari setelah tanggal diterimanya SPOP.
  • Apabila dalam jangka waktu tersebut, SPOP ti-dak dikembalikan, akan diberikan Surat Tegoran. Jika dalam jangka waktu yang ditentukan dalam Surat Tegoran, SPOP belum juga dikembalikan, akan diterbitkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) secara jabatan ditambah dengan denda adminis-trasi sebesar 25 % ( dua puluh lima perseratus).
  • Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau ke-terangan lain ternyata jumlah pajak yang ter- hutang lebih besar dari jumlah pajak yang di-hitung berdasarkan pengisian SPOP, maka atas selisih pajak yang terhutang dikenakan denda administrasi sebesar 25 % (dua puluh lima per-seratus).
V. TATA CARA PENILAIAN DAN PENETAPAN
Berdasarkan data objek PBB yang telah dihimpun dalam SPOP, Kantor Pelayanan PBB di wilayah kerja dimana objek PBB tersebut berada mengadakan penilaian dan penetapan untuk penertiban SPPT-PBB.
1. Tata Cara Penilaian.
Penilaian objek PBB meliputi penilaian objek tanah dan bangunan :
a. Penilaian Tanah
  • Penilaian objek tanah dilakukan dengan cara menentukan/menilai harga tanah berdasar-kan transaksi jual beli tanah yang terjadi di-wiyalah tersebut dengan mengambil harga jual rata-rata.
  • Untuk memudahkan dalam menentukan harga tanah untuk kepentingan penetapan PBB, Dit. Jen. Pajak c.q. Ka. Kanwil yang bersangkutan setiap tahunnya mengeluarkan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP).
  • Berdasarkan penilaian/penentuan klasifikasi tanah tersebut, petugas penilai mencantumkan kelas tanah pada SPOP.
b. Penilaian Bangunan :
  • Penilaian objek bengunan, dilakukan dengan cara menilai konstruksi bangunan yang meli-puti antara lain ; komstruksi landasan, kon-struksi dinding dan konstruksi atap, dimana dalam penilaianny memperhatikan segi kwalitas material bangunan dan luas bangunan.
  • Disamping penilaian terhadap konstruksi ba-ngunan juga menilai pagar dan taman yang dinilai mewah serta emplasemen yang meru-pakan satu kesatuan dengan bangunan tersebut.
  • Untuk penilaian masing-masing konstruksi bangunan mempunyai cara-cara penilaisan tersendiri , dimana pada akhir penilaian tersebut akan merupakan klasifikasi dari pada suatu bangunan yang akan dicantumkan pada SPOP sebagai bahan penetapan PBB.
2. Tata Cara Penetapan
Berdasarkan data objek PBB yang telah di-himpun dalam SPOP dan telah diadakan penilaian serta penentuan klasifikasi tanah dan bangunannya, selanjutnya diadakan penghitungan/penetapan pajak guna penerbitan Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT), dengan ketentuan sebagai beri-kut :
  • Besarnya tarif adalah 0,5 % (lima perseribu);
  • Dasar pengenaan pajak adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP);
  • Dasar perhitungan pajak (Nilai Jual Kena Pajak) adalah 20% dari Nilai Jual Objek Pajak(NJOP);
  • Batas Nilai Jual bangunan Tidak Kena Pajak adalah sebesar Rp. 3.500.000,- untuk setiap satuan bangunan;
Besarnya Pajak yang terhutang adalah :
Untuk Tanah : 0,5 % x 20 % x Nilai Jual Tanah
Untuk Bangunan : 0,5 % x 20 % x (Nilai Jual bangunan dikura-ngi Rp. 3.500.000,-)
Contoh :
Wajib Pajak A mempunyai objek Pajak berupa :
  • Tanah seluas 500 M2 dengan harga jual pada NJOP Ro. 100.000,- /M2.
  • Bangunan seluas 250 M2 dengan nilai jual Rp. 300.000,- /M2.
  • Taman mewah seluas 150 M2 dengan nilai jual Rp. 50.000,- /M2.
  • Pagar mewah sepanjang 100 M2 dan tinggi rata-rata pagar 1,5 M dengan nilai jual Rp. 150.000,- /M2.
Besarnya pajak yang terhutang adalah sbb :
  • Nilai jual tanah : 500 x Rp. 100.000,- = Rp. 50.000.000,-
  • Nilai jual bangunan :
    • Bangunan ( Rumah dan Garasi )
      250 x Rp. 300.000,- ------------- = Rp. 75.000.000,-
    • Taman mewah
      150 x Rp. 50.000,- -------------- = Rp. 7.500.000,-
    • Pagar mewah
      ( 100 x 1,5 ) x Rp. 150.000,- ---- = Rp. 22.500.000,-
      ----------------------------Jumlah = Rp. 105.000.000,-
Batas nilai bangunan tidak kena pajak = Rp. 3.500.000,-
Nilai jual bangungan = Rp. 101.500.000,-
Besarnya Pajak Bumi dan Bangunan yang terhutang :
·  Atas tanah : 0,5 % x 20 % x Rp. 50.000.000,- = Rp. 50.000,-
·  Atas bangunan : 0,5 % x 20 % x Rp. 101.500.000,- = Rp. 101.500,-
·  Jumlah pajak yang terhutang = Rp. 151.500,- VI. 

VI. TATA CARA PENAGIHAN/PEMBAYARAN
1. Penagihan .
  • Sarana yang dipergunakan untuk menagih adalah Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT), yang setiap tahun diterbitkan oleh Kantor Pelayanan PBB yang bersangkutan.
  • Setelah SPPT, PBB diterbitkan, selanjutnya diserahkan kepada Dinas Pendapatan Daerah untuk disampaikan kepada wajib pajak melalui petugas PBB di Kelurahan.
  • Wajib pajak harus melunasi PBB yang terhutang dalam tempo 6 (enam) bulan sejak SPPT-PBB diterima.
  • Apabila setelah jatuh tempo pembayaran PBB yang terhutang tidak/belum dilunasi, dikenakan denda administrasi sebesar 2 % (dua perseratus) sebulan dari pajak yang tidak/belum dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 bulan.
  • Atas denda administrasi besarta pokok PBB yang belum/tidak di bayar tersebut, dikeluarkan Surat Tagiyan Pajak (STP).
  • Apabila dalam tempo 30 (tiga puluh) hari setelah Surat Tagihan Pajak (STP) diterima, PBB nya masih tidak dibayar akan dikeluarkan Surat Paksa (SP) untuk selanjutnya dilakukan Penyitaan dan Pelelangan.
2. Pembayaran. Payment Point System ( Sistem Tempat Pembayaran).
  • Pembayaran PBB dengan Payment Point System (sistem Tempat Pembayaran), adalah pembayaran PBB yang hanya dapat dilakukan pada Bank ( tempat pembayarn ) yang telah ditentukan dalam SPPT.
  • Pembayaran PBB dengan Payment Point System (Sistim Tempat Pembayaran), dilakukan sekaligus (tidak boleh diangsur) dan sebagai bukti pembayran, Wajib Pajak akan menerima Surat Tanda Terima Setoran (STTS) dari petuga Bank.
VII. TATA CARA PENGAJUAN KEBERATAN/PENGURANGAN
1. KEBERATAN .
  • Wajib pajak dapat mengajukan keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak c.q. Kepala Kantor Pelayanan PBB setempat atas kesalahan klas, data dan lain-lain yang tercantum dalam :
    • Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT).
    • Surat Ketetapan Pajak (SKP) .
  • Keberatan diajukan secara tertulis dengan manyatakan alasan secara jelas dan benar.
  • Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterimanya SPPT atau SKP sebagimana dimaksud pada angka 1 diatas, kecuali apabila wajib pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan diluar kekuasannya.
  • Apabila Keputusan keberatan belum diterima oleh Wajib Pajak, PBB yang terhutang tetap harus dibayar sebelum jatuh tempo pembayaran berakhir.
2. PENGURANGAN .
  • Wajib Pajak dapat mengajukan pengurangan PBB kepada Direktur Jenderal Pajak c.q. Kepada Kantor Pelayanan PBB setempat dalam hal :
    • Kondisi tertentu obyek Pajak yang ada hubungannya subjek dan atau karena sebab-sebab tertentu lainnya, seperti :
      • Lahan pertanian yang sangat terbatas ;
      • Bangunan yang ditempati sendiri oleh wajib pajak yang tidak mampu;
      • Dan lain-lain.
    • Objek pajak terkena bencana alam alau sebab lain yang luar biasa, seperti :
      • Kebakaran ;
      • Gempa bumi;
      • Wabah penyakit/hama tanaman;
      • Dan lain-lain.
  • Permohonan pengurangan harus diajukan secara tertulis dengan menyatakan alasan secara jelas dan benar, dalam jangka waktu 2 (dua) bulan sejak diterimanya SPPT-PBB atau sejak terjadinya bencana alam.
  • Apabila keputusan pengurangan belum diterima oleh Wajib Pajak, PBB yang terhutang tetap harus dibayar sebelum jatuh tempo pembayaran berakhir.






Related Post :