wow...
Kata yang bisa jadi selalu terucap jika sedang memperbincangkan duet tersohor Negeri ini, yang tidak lain tidak bukan adalah Jokowi-AHok. Segala kinerja mereka menjadi sorotan. Setiap harinya liputan tetntang mereka di muat di media. Bahkan berita mereka sampai ke media luar. Wow..
Tapi sebenarnya, tidak ada lah suatu yang istimewa yang dilakukan duet ini dalam periode pemerintahannya. Seperti yang selalu mereka dengungkan, bahwa niat mereka adalah hanya untuk bekerja dan menjalankan amanat, tidak ada kepentingan lain. Lalu apanya yang wow???
Yang menjadi daya tarik wow itu sendiri ialah karena baru pada masa mereka lah rakyat mengenal sosok pemimpin sesungguhnya. Sosok pemimpin yang rendah hati, berbaur dengan masyarakat, dan juga tegas. Dari masa mereka lah masyarakat bisa mengetahui sedikit kinerja gubernur dan wakilnya seperti apa dan bagaimana saja.
Di negera ini baru mereka berdua yang terlihat sungguh dalam menjalankan power digenggamannya. INi yang terlihat wow. Dan ini langka di negeri ini.
Sepertinya doa jutaan manusia yang mendambakan pemimpin yang sungguh ingin membawa perubahan dalam negeri ini tergambar dari mereka. Seperti mendapat udara baru dan optimesme baru melihat gebrakan dan keberanian mereka selama setahun masa jabatannya.
Rakyat cinta mereka. Namun banyak teman seprofesinya membenci mereka. Hahahhhaaa...
Namun tak ada takut atau pun rasa gentar diperlihatkan mereka. Semoga niat ini tetap berlangsung sampai 4 tahun ke depan. Maka selanjutnya, hal besar akan terjadi dalam negeri ini.
Perubahan Global Negeri terpapang nyata jika duet ini tetap berintegritas dan akan semakin nyata, jika terdapat beberapa duet yang sama juga dengan mereka. Wow..
Seperti tak ada spirit menyambut datangnya mentari pagi ini..
Padahal, mestinya ku harus bersyukur, diberi satu hari mengecap manisnya hidup ini..
Banyak orang yang sedang terbaring di Rumah Sakit sana, mendambakan menyambut pagi dengan fisik sehat, bisa jingkrak-jingkrak seperti aku ini, tidak lah terbaring seperti si pendamba..
Akhh...aku memang manusia yang tidak tahu rasa syukur yahh..
Yahh, aku mengerti mengapa ku bersikap membosankan seperti ini. Rasa hampir hilang pengharapan lah yang membuatku menjadi kurang ajar seperti ini.
Tapi kalau ku rimangi, untuk apa aku marah? kepada siapa? Belum berhasilnya, atau belum tergapainya keinginanku ini bukan karena Dia yang tidak ada untukmu. oh..c'mon neiy...,,,He's always be by your side.
Sadar betul akan kekurangan ku yang satu ini. Sulitnya membawa diri cair ke dalam situasi baru membuat ku lebih nyaman mengurung diri di rumah jika hari libur, membuat ku lebih suka mengeksprsikan diri lewat dunia maya seperti ini. Sehingga tak heran, dalam lingkungan sekolah atau pun kampus banyak sekali yang tak begitu mengenal aku. Jelas dikarenakan memang aku hanya membaur dengan satu kelompok saja. Jarang sekali aku, terlihat duduk di kantin, ngobrol dengan teman-teman lain. Sungguh, aku tidak menikmati yang namanya bergosip, entah karena aku yang tidak suka keramaian (biasanay orang yang ngumpul, pasti gosip)atau memang aku bukan tipe yang penggosip (mudah-mudahn yang ke-2). Kesimpulannya, saya sering merasa jenuh dengan sikap peyendiri ku ini.
Mungkin didikan lingkungan keluarga yang membentuk ku menjadi introvert begini. Terkadang, menyesal dan melemparkan kekesalan dengan menyalahkan pola didik orang tua. Tapi semakin bertambah umur, aku sadar harus bisa menyikapi dengan lebih bijak juga dan mencoba mengambil sisi positifnya. Tetap meratapi diri juga akan membuat ku tidak merasa lebih baik, justru aku akan mendapati aku semakin terpuruk nantinya.
Ya,saat ini aku mulai mencoba menyukuri kekurangan ku ini.
Dengan aku yang introvert:
- Aku bisa melatih diri untuk menulis seperti ini (semoga suatu saat bisa menjadi penulis yang diakui, Amin :D)
- Aku bisa menikmati koleksi-koleksi film ku
- - Aku bisa menabung - Aku bisa terhindar dari isu wanita panjang kaki :D
- - Aku bisa menekuni pembelajaran memasak ku
- - Aku bisa membaca artikel atau info menarik dari bloger lain
- - .....akan ditambahkan di lain waktu...
wah meski tak banya dan belum banyak hal-hal besar yang teraih, tapi harus, kudu, tetap bersyukur. Aku yakin, apapun keadaan ku sekarang, dan bagaimana pun karakter yang terbentuk dalam ku sekarang, aku tercipta bukan untuk menjadi yang biasa saja.
Melihat berita di salah satu stasiun tv swasta semalam,menyadarkan ku bahwa peminat paranormal bukanlah hal dari kalangan bawah saja, tapi kaum yang katanya intelektual itu pun butuh ritual-ritual yang disarankan sang sesepuh.
Kaum intelektual yang saya maksudkan adalah mereka yang berjuang memperebutkan satu kursi demi memperjuangkan (katanya) kepentingan rakyat dalam PEMILU/PILKADA. Hal ini saya saksikan lewat tayangan dalam stasiiun tv tersebut yang mewawancarai beberapa paranormal yang mengaku sering mendapat pasien untuk kepentingan memenangkan pemilihan (legislatif,gubernur,bupati,walikota,dll). Wow, ternyata perdukunan menjadi alternatif lain selain penyuapan. Hal senada juga terdengar lewat kasus bupati Atut, yang mana banyak paranormal berkomentar tentang posisi beliau. Banyak dari mereka sepakat, meski kasusnya sedang mencuat ke permukaan, namun posisi beliau akan susah tergoyah dikarenakan, kemistisan yang mendukung di belakangnya.
Wow, ngeri yahhh..
Tapi saya sich berharap hal itu hanyalah upaya si mereka yang menggunakan posisi itu untuk mencari dan membutuhi kehidupan untuk menaikan pamor mereka. Sungguh sangat tidak diharapkan pernyataan mereka ini nantinya malah memicu masyarakat yang lain untuk menempuh jalan dengan datang kepada mereka juga. Bahaya kalau sampai dukun menjadi profesi di negeri ini. Padahal negeri ini, negeri dengan beradatkan ketimuran dan berlandaskan agama. Tak main-main 5 agama teryakini di negeri ini. Apa jadinya jika paranormal/dukun lebih marak/digandrungi masyarakat negeri ini ketimbang meyakini Tuhannya masing-masing. Di mana posisi Tuhan mereka letakkan saat mereka berpikir untuk datang kepada dukun dan ahli nujum sejenisnya?
Kembali ke pada topik.
Maju mencalonkan diri dalam pemilihan memang punya resiko sendiri, disamping harus mengeluarkan modal yang besar, kans untuk terpilih pun tidak dapat terprediksi secara pasti sebelum KPUD mengumumkan sendiri hasil pemilihannya. Apa latar belakang ini yang mendorong mereka-mereka yang saya yakin adalah mereka yang berintelektual tetap membutuhkan semacam pegangggan untuk menang di pemilihan? Mereka beragama,dan pasti berpendidikan.
Saya sendiri pernah mengalami satu hal kecil yang hampir sama lah dengan posisi beliau-beliau. Saya, yang saat lulus SMP ingin sekali masuk ke SMA favorit, disarankan ibu kedua saya untuk minum semacam air suci untuk keberuntungan katanya. Tapi saya tidak menanggapi tawaran beliau. Saya menolak meminumnya, dan hasilnya memang saya tidak diterima di SMA itu.
Menyesal? tentu tidak. Bukan karena tidak minum air itu saya gagal.
Senangnya melihat mereka yang masih bisa bercanda dengan mama kandungnya. Ya, aku memang sudah 25 tahun sekarang, tapi rindu akan kasih sayang seorang mama masih lah sangat ku idamkan.
Kami, aku, kakak, dan 2 adik ku memang tidak banyak diberi waktu oleh Yang Kuasa untuk mengecap kasih sayang seorang ibu. Aku sendiri saat kepergiaannya masih duduk di banku SMP kelas II, kaka, setingkat di atas ku sedangkan adik ku, masih SD dan si bungsu masih balita umur 4 tahun. Namun bisa dikatakan, sejak ku menginjak kelas I SMP, saat itu sudah tidak lah terasa peran ibu lagi, karena saat itu mama sudah sakit-sakitan, bahkan setiap bulan berganti rumah sakit.
Aku masih ingat, saat aku, kakak, dan adik no 3 berangkat sekolah, si bungsu harus ku titipkan kepada tetangga kami. Sangat masih terekam pula di benak kala ku mengantarkan si bungsu kami ini ke tetangga, dia mengatakan "kak, cepat jemputnya ya". Huuuaaakkkkhhhh.....,,,sesak rasanya dada ini, mendengar si kecil berucap demikian. Tapi apa mau dibilang, semua harus sekolah, bapak harus kerja, terpaksa dia dititipkan. Begitu terus, sampai entah berapa lama ku pun tak mengingatnya lagi.
Kenangan terakhir, saat mama ku masih sadar dan sedikit membaik, mama berpesan kalau aku harus akur dengan kakak, bantu dia bersihkan rumah dan tidak buat bapak sampai stres karena kenakalan kami. Saat dia berpesan begitu, aku hanya bisa tertunduk sedih sambil menahan air mata ku. Sempat pula mama menawarkan untuk memotong kuku jariku dan nyisir rambutku. Aku pun menwarkan pijatan pelan padanya, karena kondisinya sudah lah tidak seperti mama ku yang super mama. Saat itu, mama meminta ku mencabut rambut putihnya. Aku pun mengambil pingset untuk memulai perintahnya. Namun, ternyata ku tidak membutuhkan alat itu, karena ternyata uban mama bisa dengan gampangnya tercabut hanya dengan tangan, begitu juga rambut hitam lainnya. Tersadar lah aku, kondisi mama terlihat membaik tapi ternyata tidak. Mungkin ini lah kesempatan terakhir kami bisa berbincang dengannya.
Apa yang ku takutkan benarlah terjadi. Selang beberapa hari setelah hari itu, mama sudah tidak sadarkan diri lagi, seperti orang yang sedang koma. Dan entah kenapa, mama tidak dirujuk ke Rumah Sakit seperti biasa kala keadaannya drop seperti itu. Tak lama dengan kondisi koma begitu, pagi hari jam 5 pagi entah di hari apa, mama didapati kakak sudah tidak bernafas.
Bapak meminta kami berdua memanggil bidan terdekat, dan sambil menangis kami menggedor pintu rumah ibu bidan. Ibu itu pun langsung bergegas ke dalam mengambil peralatannya dan sama dengan tergesanya seperti kami, berjalan menuju rumah. Pernyataan si ibu bidan pun menjadi putusan bahwa benar mama sudah meninggalkan kami.
Kangen rasanya ma ponakan-ponakan ku. Apalagi dengan mia. hikss..
Tapi mau datang ke rumahnya, rasanya lebih baik ku kubur keinginan ku untuk melihat ponakan-ponakan ku. Menunggu mereka yang datang ke kontrakan adalah harapan satu-satunya.
Kejadian pahit itu tak ku pungkiri sangat membekas di hatiku. Susah sekali menghapuskan rasa sakit, penghinaan yang ku dan mungkin juga dirasakan adik-adik ku terhadap ayah ponakanku itu. Bahkan bisa dikatakan, kata-kata makian dan pengusiran itu baru ku alami dari dia. akkhhhh...mungkin hati tak sesakit ini jika perlakuan itu ku terima dari orang lain.
Tapi dia, dia sudah menjadi bagian dari keluarga.
Apapun alasan kemarahannya saat itu, sangat tak bisa ku terima oleh akal sehatku. Yang ku lihat saat itu, adalah dia menganggap kami adalah pembantu yang bisa diperlakukan kasar begitu. Seperti ada haknya untuk melemparkan penghinaan itu di muka ku. Tapi apa yang membuat dia merasa berhak? Kami numpang di rumahnya? seingatku, ayahku turut andil untuk membayar sewa rumah tinggal itu. Kami makan gratis dari keringatnya? Ini lebih tidak masuk akal, karena aku juga masak di rumah itu, yang bukan dariuangnya. Lalu apa? Soal bersih-bersih rumah, cuci piring, dan pakaian juga menjadi tanggung jawab adek-adek ku. Yah wajar kan, kalau ada kalanya mereka yang ambil alih kerjaan itu? Kan kami juga tidak seharian kerjanya hanya santai di rumah. Kalau begitu keadaanya baru lah dia berhak marah bahkan ya mengusir juga pasti batin ini menerima. Tapi ini? Aku bekerja, pargi pagi, pulang sore, adik ku kuliah dan sekolah, yang jadwalnya tak jauh beda dengan ku. Trus itu juga menjadi tanggung jawab kami untuk buat itu rumah selalu kinclong, dan makanan selalu tersedia saat dia pulang? T* Ni Huting i alang!!!
Aishhh sudahlah, semakin panjang tulisan ini, semakin menyeruak pula kebencian itu lagi. Menangis pun aku tidak sudi.
Apa sih yang menjadi pertimbangan teman-teman kalau ingin menonton sebuah film? Alur kah? Pemerannya kah? Genrenya kah? Atau karena ada adegan intim dalam cerita?
Untuk memilih opsi terakhir sebagai alasan, saya pikir mereka lah orang yang berani berkata jujur (tidak munafik) atau malah mereka yang sangat sudah terbiasa dengan hal itu, sehingga rasa malu atau sungkan sudah tidak ada lagi?
Hayoooo.....ngaaakuuuu?????
Kalau pertanyaan itu ditujukan padaku sich, jujur aku liat dulu dari rating filmnya, genrenya apa, atau terkadang pemeran juga menjadi pertimbangan film apa yang mau ku tonton. Simple aja, aku berpikirnya kalau sudah aktris tersohor pastinya akan memilah-milih cerita untuk diperankan. Tapi pemikiran ku ini juga sering salah. Baru-baru ini aku mengalaminya lagi. Pemeran dalam film itu berjibun aktris dan aktor ternama tapi ternyata ceritanya mengecewakan. konyol-konyol menjijikan lah, kalau bisa ku bilang. Tapi mungkin juga aku tidak begitu suka genre film itu (judulnya lupa). Seandainya tidak dikemas dengan kekonyolan adegan begitu, aku rasa ini film bagus sekali menginsipirasi hidup banyak orang (masih berfikir keeras, judul filmnya :( ).
ohh iyaa, judulnya "This is The END"
Genre film yang ku suka biasalah selayaknya cewek-cewek yang suka mewek liat adegan romantis (heheheee), comedy romantis juga ok, lalu genre thriller, drama family, sci-fi, animasi. Horror aku tidak begitu suka, karena biasanya aku akan kecewa pada akhir ceritanya (kebanyakkan gantung supaya bisa bersambung), belum lagi ada adegan-adegan intim yang sebenarnya tidak begitu penting dibubuhi ke dalam cerita.
Bicara tentang adegan itu, dan kembali kepada maksud judul, aku terkadang berfikir, apakah sudah begitu bergesernya nilai norma mengenai hubungan intim? tidak kah lagi ini bersifat taboo? Aku memahami kalau adegan seperti itu terdapat dalam film hollywood yang kita semua sudah tahu pasti, hal itu menjadi kegiatan yang biasa saja. Kesannya sama kalau sedang melihat orang bercinta dengan orang yang sedang sarapan. Kemungkinan sudah seperti itu lah di sana. Sampai-sampai di setiap film hollywood pastilah ada adegan demikian. MAsih untung jika cuma sekdar cumbu-cumbu lalu teralihkan, tapi buntung kini, karena sekarang ini sudah semakin menjadi saja. Sampai kadang anggapan ku semua film itu mendekati ke film blue. Mungkin saja, entah kapan tepatnya, sudah tak bisa terbedakan lagi film blue mana dan film yang benar-benar film yang mana. Apakah adegan ini dibutuhkan untuk menarik minat penonton atau apa?
sampai saat ini sich, aku meyakini adegan itu sedikitnya meninggalkan peran untuk menarik minat penonton. Terlebih penonton di luar eropa. Malah hal begini semakin sering dijumpai dalam film-film Asia dan Indonesia juga ada beberapa yang demikian. Apalagi yang genre horornya. Paling males lah liat horronya film Indonesia. Ngeri kagak, jijik iya. Tapi film-film INdonesia (terlepas dari genre horor), ku amati mulai membaik lah dari segi kualitas. Semoga tak lama akan ada film Indonesia yang bertengger di Box Office dan Menjadi rebutan nominator-nominator ajang perfiliman dunia. C'on Indonesia!!! India saja mampu kok.
Kembali ke judul,
Aku sich sangat berharap kalau nantinya akan ditinggalkan "motif" ini untuk menaikan penjualan produksi. Aku sering melakoni hobi ku ini, dengan adik-adik ku yang masih sekolah. Sedikit terganggu karena tangan ini harus standby untuk menskip adegan-adegan tersebut. Manusia itu sifatnya ingin tahu, tidak disediakan saja nalurinya mencari apalagi kalau diperkenalkan. Bahaya kan???
Sangat memungkinkan setelah melihatnya, jadi terdorong untuk melihat yang full seperti apa. Bahaya jika timbul keinginan untuk melakukan.
KOngkrit atau tidaknya ulasan ku ini, aku pun meragukannya, karena apa yang tersampaikan ini hanyalah berdasarkan pendapat pribadi didukung dari pengalaman saat berhadapan dengan beberapa suku. kata si narasumber, orang padang itu tipenya sama bak orang melayu, kalau berbicara selalu bertele-tele, tidak mau langsung ke point apa yang ada dalam benak dan hatinya. Jadi dia menuntut kepekaan si lawan bicara untuk menangkap maksud dan tujuan implisitnya. Ini pula lah yang sering dikesalkan orang batak jika bertemu orang padang. Karena orang Batak adalah kebalikan mereka. Lebih suka bicara blak-blak kan dengan suara yang lantang pula. Habis kesabaran si orang Batak kalau berhadapan dengan orang padang.
Pendapat beliau ada benarnya, karena aku mengalami sendiri. Awal sih aku tidak tau si kakak ini orang padang. Terkait dengan pekerjaan di kantor menuntutku harus mendatangi si kakak ini. Tapi hampir aja ku tercekek rasa kesal saat berhadapan dengannya. Kedatangan ku tak disambut dengan senyum atau basa-basi keramahtamaan darinya sedikit pun. Tapi kutepis sikap tak mengenakkan itu, aku emmperkenalkan diri dan langsung mengutarakan tujuan kedatanganku. Tapi penjelasan yang berbelit kuterima. Dalam hati "mau bilang gak bisa aja,mesti keliling Medan dulu".
Akhirnya ku kembali ke kantor dengan tangan hampa. Alhasil kena semprot lah dari pimpinan. Dengan gontai keluar lagi untuk bertemu si kakak padang. Sesampainya di sana, ada seorang bapak juga dengan tujuan yang sama seperti ku datang bertemu dengan si kakak Padang, alangkah terkejutnya aku melihat kejadian dalam ruangan itu. Si kakak tidak bersikap sama seperti ku tadi datang menemuinya kepada si bapak, ramahnya bukan main. Namun tak lama aku pun mengetahui rahasia dibalik keramahan itu. Si bapak ternyata sudah menyelipkan lembaran uang biru rupiah kepada si kakak. oh...pikirku. Kertas bernilai itu ternyata sangat mempengaruhi ramah tidaknya seseorang yahh..
Sampai di kantor, curhat dengan teman, mereka juga membenarkan kebanyakan karakter orang Padang memang seperti itu. Tidak bisa berkata sama seperti apa yang ada di dalam hatinya. yahh..kebalikan dari orang Batak lahhh..
Berawal dari Padang, pembicaraan merambah ke etnis lain, yaitu tamil, a.k.a orang India. Kawan kerja ku, banyak punya teman orang tamil semasa sekolah, dan di kerjaan juga dia pernah berurusan dengan orang India. Dia pun menyimpulkan ada kesamaan karakter antara teman-temannya dulu dengan mereka yang ditemuinya saat bekerja. Kata temanku "kalau kita ketemu ular dan orang tamil dalam waktu yang bersamaan, bagus lah yang kita celakai si orang tamilnya daripada si ular, karena dia lebih berbisa daripada hewan beracun itu." Suatu ungkapan yang bermakna sangat dalam bukan? Ya, dia menuturkan kebanyakan karakter mereka begitu "menggigit".
Masih kah ku beriman???
Kekhawatiran yang ku rasa sekarang, mungkin menjadi jawaban atas pertanyaan ku itu, bahwa iman ku benarlah lemah, atau mungkin semu.
Ku sadari dengan pasti, iman sejalan dengan perbuatan. Jika mulut dan hatiku percaya Tuhan ada, Tuhan siap tolong apapun kesusahan dan problematika hidup, maka aku tidak lah seharusnya sekhawatir ini.
Tapi, sungguh, aku bukan sedang mengkerdilkan Engkau Bapa, maafkan lah aku yang masih memiliki iman bak seorang bayi seperti ini. Aku terlalu khawatir. Namun Tuhan, aku tahu, ENgkau lebih mengetahui diri ku, hatiku ku yang terdalam. Bukan mencoba untuk mencari pembenaran diri, tapi aku hanya minta ampun Tuhan atas sikap ku ini. Dan jangan lah pandang sikapku ini, menjadi penghambat bagi jalan keluar yang tlah Engkau rancangkan Bapa. Ubah kan aku, menangkan aku.
Melihat teman-teman seangkatan kuliah menikah memang memberikan motivasi bagiku untuk memandang satu tahapan kehidupan lagi. Namun niat itu pun langsung buyar, tertepis sesaat aku teringat akan kehidupan rumah tangga yang dialami saudara ku dan kebanyakan perempuan lain dengan latar belakang yang hampir sama (MBA). Jalan mereka bersatu memang penuh dengan ciiran dan omongan-omongan miring. Belum lagi kesan penolakan yang pastinya akan ada saja diperlihatkan orang-orang disekitarnya.
Tentunya bukan cerita seperti itu yang aku ingini sebagai alur pernikahanku kelak. Yang ingin aku soroti adalah tidak akan ada cerita penyesalan telah menikah dengan si dia atau pun akhirnya berujung dengan perceraian. Ketakutan-ketakutan yang didorong oleh pengalaman berumah tangga orang lain yang tidak mengenakan seperti itu membuatku enggan untuk berpikir ke arah itu. Padahal umur sudah 1/4 abad, sudah wajar memang berpikir ke arah sana.
Hanya saja...
Mudah-mudahan Tuhan tidak mengijinkanku tercobai dengan cerita kehidupan rumah tangga yang kelam apalagi sampai menyesal telah menikah dengan seseorang. Hal ini akan sangat membuat ku terpuruk nantinya (seperti bayanganku saat ini). Karena persoalan pasangan hidup adalah hal terpenting ke-2 bagiku. Jika aku gagal di sini maka habislah aku. Entah aku akan mempunyai kekuatan untuk menjalani hari-hari atau tidak jika aku dihadapkan dengan persoalan yang satu ini seperti aku bisa melalui apapun masalah yang sudah-sudah.
Dulu aku pernah yakin sekali dengan hubungan yang ku jalani dengan seorang pria, namun pada akhirnya kita terpisah juga. Berdoa, ya...selalu..(seperti yang sudah ku ungkapkan, aku tak ingin gagal dalam hal pernikahan). Setiap hari ku mendoakan pacarku yang dulu, akan kah dia pasangan yang tepat yang disediakanNYa untuk ku. Namun jawaban yang kuterima, adalah tidak, tapi itu pun setelah 6 tahun terlewati. Entah lah, aku pun tak tahu mengapa setelah sekian lama berdoa, jawabannya terkkuak setelah berjalan 6 tahun, tapi pasti kesalahan ada padaku, karena ku percaya satu-satunya sosok yang tak pernah melakukan kesalahan adalah Tuhan.
Berpisahlah akhirnya..
Bahkan sekarang hubungannya menjadi sangat tidak bersahabat. Dan ku sadari itu dikarenakan sikap ku terhadapnya. Tapi aku hanya tidak ingin dirongrong rasa itu lagi dengan semua janji-janji yang tidak akan melakukan hal yang sama lagi (katanya) diwaktu yang sudah tidak tepat. Apalagi aku sudah ada kekasih. SUngguh sangat mengganggu ketika ungkapan-ungkapan yang tak berarti lagi itu terucap darinya. Jadi, mohon maaf, menghindar adalah cara abik yang terpikirkan olehku.
Penempatan Ibu Susan (tidak tahu nama aslinya) sebagai Lurah di Klenteng Agung DKI Jakarta, menuai protes dari warga setempat (info dalam berita demikian). Ibu susan sendiri adalah orang yang lulus seleksi dari ujian yang berlaku umum bagi siapa saja yang memenuhi persyaratan yang ada. Dari sekian banyak kompetitor, terpilih lah Ibu Susan dan ditempatkan di Kelurahan Klenteng Agung. Namun tak lama, protes pun dilayang kan warga dan kini menuai kontroversi. Bahkan mendagri pun kabarnya turut menyampaikan aspirasinya Kepada pak Gubernur dan Wakil Gubernur untuk mempertinmbangkan permintaan warga K.A tersebut. Dan respon pun diterima lewat pernyataan pak Ahok untuk pak mendagri tidak turut memperkeruh dan menghargai konstitusi.
Ternyata, setelah saya baca lagi yang menjadi persoalan dalam penempatan Ibu susan adalah karena beliau bukanlah berlatarbelakangkan kepercayaan seperti kepercayaan mayoritas daerah tersebut. Warga keburu mendeskreditkan beliau dengan kekhawatiran tidak akan bisa mengayomi sepenuhnya karena agamanya berbeda. Bagaimana kalau Lebaran nanti?
Sontak pernyataaan warga ini sungguh menyayat hatiku. Dalam forum komentar yang disediakan dalam berita itu pun saya dengan didorong rasa kecewa berkomentar pedas terhadap warga di sana. Mengapa masalah agama menjadi hal yang begitu riskan di negara yang penduduknya menganut beragam macam agama? Mengapa orang yang non-muslim tidak boleh menjabat atau mengabdi di daerah yang muslim? Toh tugas Lurah yang diemban Ibu Susan nantinya tidak hanya seputar masalah agama islam kan? Dan saya rasa tugas beliau tidak ada hubungannya dengan agama. Terkecuali beliau tidak beragama, saya tidak akan turut mempersoalkan tuntutan sodara di sana. Karena saya berkeyakinan, orang yang beragama akan menjalankan tugas yang dimandatkan padanya dengan benar. Pertanggungjawaban teetap pada sang Ilahi. Jika tadinya Ibu susan tidak beragama, mungkin bisa saja permintaan ini dipertimabngkan.
Saya sangat puas dengan tanggapan bijak Pak Gubernur dan Wakil Gubernur dalam menanggapi polemik Ibu Susan ini. Beliau mengatakan, untuk melihat kinerja Ibu Susan dalam enam bulan pertama ini, Jika memang tidak memuaskan akan dipertimbangkan kembali terkait jabatannya. Bijak sekali dan lebih etis jika dilakukan dengan cara ini, ketimabng menghakimi beliau tanpa melihat dulu kinerja beliau. Akan sangat berbahaya juga bila permintaan warga ini dipenuhi, tentunya akan berimbas ke daerah lain, dan bukan tidak memungkinkan, mereka akan menuntut hal yang sama, dan dikhawatirkan, jalan seperti ini akan mempercepat perpecahan dalam negeri.
Entah mengapa masalah agama sangat sensitif di negeri ini. Dan entah mengapa pula kicauan yang kerap kali terdengar justru dari masyarakat dengan catatan penganut agama terbesar di negeri ini. Sungguh hal yang sangat susah diterima nalar saya, bahkan bisa dikatakan aneh. Belum lagi masalah beribadah yang belakangan hari ini mulai terdengar blak-blakan intoleransi itu terjadi. Di Aceh, sekelompok masyarakat menuntut gereja mesti ada IMB-nya jika tidak, entah dapat mandat darimana mereka mengancam akan menggusur paksa. Di daerah ku sendiri, Medan hal ini ternyata juga terjadi, di satu daerah, rumah iabdat yang didirikan sudah berulang kali dirubuhkan penduduk setempat, yang mayoritas bergaman non-kristen. Bahkan mereka sampai minta perlindungan ke pemerintah daerah dan pemerintah daerah hanya memberikan waktu 6 bulan saja untuk pemabngunan, jika dalam waktu yang sudah ditentuka, gereja tidak berdiri, maka pemerintah tidak akan mencampuri intervensi yang akan dilakukan penduduk di daerah itu lagi.